Relevansi Teori Von Thunen Terhadap Pasar Hutan Rakyat di Gunung Kidul



A.  PENDAHULUAN
Johann Heinrich von Thünen merupakan seorang ekonom dan seorang tuan tanah dari Mecklenburg (sebelah utara Jerman) yang merupakan pionir teori pemanfaatan tanah. Dalam buku karangannya yang berjudul Der Isolierte Staat in Beziehug suf Land Wirtshaft (1826) yang kemudian dialihbahasakan oleh Peter Hall menjadi The Isolated State to Agriculture (1966), menuliskan mengenai teori ekonomi keruangan yang kemudian dihubungkan dengan teori sewa (rent).
Von Thunen adalah orang pertama yang membuat model analitik dasar dari hubungan antara pasar, produksi, dan jarak. Dalam menjelaskan teorinya ini, Von Thunen menggunakan tanah pertanian sebagai contoh kasusnya. Dia menggambarkan bahwa perbedaan ongkos transportasi tiap komoditas pertanian dari tempat produksi ke pasar terdekat mempengaruhi jenis penggunaan tanah yang ada di suatu daerah. Semua jenis penggunaan tanah ini bertujuan untuk memaksimalkan produktifitasnya yang sangat bergantung pada lokasi dari pasar (pusat kota).
B.  RELEVANSI TEORI VON THUNEN
Seperti telah dipaparkan di atas, Von Thunen mengidentifikasi perbedaan lokasi dari berbagai kegiatan pertanian atas dasar perbedaan sewa lahan (pertimbangan ekonomi). Menurut Djojodipuro (1992), model teori Von Thunen mengenai tanah pertanian ini dibuat sebelum era industrialisasi dengan asumsi dasar sebagai berikut:
a.  Terdapat suatu daerah terpencil yang terdiri atas daerah perkotaan dengan daerah pedalamannya, yang merupakan satu-satunya daerah pemasok kebutuhan pokok yang merupakan komoditi pertanian (isolated stated)
b.  Daerah perkotaan tersebut merupakan daerah penjualan kelebihan produksi daerah pedalaman dan tidak menerima penjualan hasil pertanian dari daerah lain (single market)
c.  Daerah pedalaman tidak menjual kelebihan produksinya ke daerah lain kecuali ke daerah perkotaan (single destination)
d.  Daerah pedalaman merupakan daerah berkarakter sama dan cocok untuk tanaman dan peternakan dalam menengah (homogenous)
e.   Daerah pedalaman dihuni oleh petani yang berusaha untuk memperoleh keuntungan maksimum dan mampu untuk menyesuaiakan hasil tanaman dan peternakannya dengan permintaan yang terdapat di daerah perkotaan (maximum oriented)
f.   Satu-satunya angkutan yang terdapat pada waktu itu adalah angkutan darat berupa gerobak yang dihela oleh kuda (one mode transportation)
g.    Biaya angkutan ditanggung oleh petani dan besarnya sebanding dengan jarak yang ditempuh, di mana petani mengangkut semua hasil dalam bentuk segar (equidistant)
Untuk beberapa hal, teori ini masih relevan, seperti dalam hal alokasi lahan untuk daerah pertanian, yang ternyata tidak hanya berlaku di pusat pertanian (desa), namun juga berlaku di perkotaan. Implikasinya adalah dalam ketersediaan lahan, di mana nilai sewa atau beli lahan yang letaknya di pusat kota bersifat semakin dekat ke pusat semakin tinggi nilai sewa atau beli lahan tersebut. Tentu saja hal ini masih relevan di daerah yang masih terbilang terpencil, di mana wilayah desa (pertanian) masih cukup jauh dari pusat kota, sehingga tradisionalitas dan akses jalan dalam kaitannya dengan transportasi menjadi faktor utama pemicu tingginya sewa lahan.
Dalam hal-hal lain, teori Von Thunen ini sudah tidak relevan lagi, dikarenakan teori ini muncul dan dicetuskan sebelum masa industrialisasi, di mana kondisinya pada saat itu adalah kota terletak di antara daerah yang terisolir (desa), yang dikelilingi oleh hutan serta wilayah yang kondisinya menyulitkan akses untuk transportasi. Hal tersebut sudah tidak relevan di masa sekarang karena masa sekarang ini transportasi sudah cukup maju, dengan biaya yang dapat dijangkau oleh orang-orang kecil untuk berusaha.
Dapat dilihat bahwa pada era sekarang ini, transportasi sudah mengalami kemajuan dibandingkan dengan pada era teori Von Thunen berjaya, karena sudah cukup bisa menghemat waktu dan biaya sehingga meminimalisir kemungkinan terjadinya kebusukan dalam hasil pertanian yang akan didistribusikan, ditambah lagi teknologi sekarang sudah cukup canggih dengan adanya berbagai bahan dan proses pengawetan, sehingga tidak terlalu mengkhawatirkan jauh-dekatnya lokasi pasar dengan pusat pertanian.
Selain biaya transportasi, terdapat beberapa hal yang juga menjadi faktor yang dapat mempengaruhi komposisi keruangan, diantaranya adalah:
a.  Kondisi jalan yang memudahkan akses transportasi dalam pemasaran.
b. Terdapatnya lokasi-lokasi alternatif, seperti cabang dari pusat pemasaran dan sebagainya.
c.  Adanya skala produksi, dimana biaya produksi per unitnya dibandingkan dengan jumlah produksi, sehingga tentunya akan berbeda-beda di setiap wilayah tergantung dengan proses produksinya.
d.  Faktor lingkungan, seperti lokasi pesaing yang berdekatan, yang sebenarnya dapat memicu kegiatan ekonomi dalam kaitannya dengan kelarisan, kemudian juga kebijakan pemerintah seperti dengan penempatan beberapa tempat perbelanjaan yang tak terelakkan, misalnya Indomaret atau Alfamart yang tersebar hampir di seluruh penjuru wilayah.
e. Mekanisme pasar terbuka, yang menimbulkan terjadinya supply and demand, sehingga konsumen dapat memesan barang dan produsen hanya membuat sesuai pesanan.
f.  Faktor kesejarahan dan kepercayaan masyarakat setempat.
C.  RELEVANSI TEORI VON THUNEN TERHADAP PEMASARAN HUTAN HUTAN RAKYAT DI GUNUNG KIDUL, YOGYAKARTA.
                                             
Hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas tanah milik dengan luas minimal 0.25 ha. Dengan penutupan tajuk didominasi oleh tanaman perkayuan (lebih dari 50%), dan atau tanaman tahun pertama minimal 500 batang (Dephutbun, 1999; SK Menteri Kehutanan No. 49/Kpts-11/1997; Zain, 1998; Awang, 2001).
Pada hutan ini dilakukan penanaman dengan mengkombinasikan tanaman perkayuan dengan tanaman pangan/palawija yang biasa dikenal dengan istilah agroforestry. Pola pemanfaatan lahan seperti ini banyak manfaatnya, antara lain : Pendapatan per satuan lahan bertambah, Erosi dapat ditekan, Hama dan penyakit lebih dapat dikendalikan, Biaya perawatan tanaman dapat dihemat, Waktu petani di lahan lebih lama.
Ada beberapa tanaman perkayuan yang dikembangkan di hutan rakyat Gunung Kidul, seperti : Sengon (Paraserianthes falcataria), kayu putih (Melaleuca leucadendron), aren (Arenga pinata), Sungkai (Peronema canescens), Akasia (Acacia sp.), Jati putih (Gmelina arborea), Johar (Cassia siamea), Kemiri (Aleurites moluccana), kapuk randu (Ceiba petandra), Jabon (Anthocepallus cadamba), Mahoni (Swietenia macrophylla), bambu (Bambusa), mimba (Azadirachta indica), cemara pantai (Casuarina equisetifolia), dan kaliandra (Calliandra calothyrsus).
Dari beberapa jenis pohon tersebut, menurut Sumarna (2001) terdapat 4 pohon serba guna karena memiliki kemampuan beradaptasi diberbagai kondisi tapak, cepat tumbuh, dan menghasilkan banyak produk, seperti kayu bakar berkualitas tinggi, kayu pertukangan berdiameter kecil, dan pakan ternak. Pohon tersebut adalah : akasia (Acacia auriculiformis), mimba (Azadirachta indica), cemara pantai (Casuarina equisetifolia), dan kaliandra (Calliandra calothyrsus). Ampas biji mimba setelah diekstraksi merupakan pupuk yang mengandung hara tanaman beberapa kali lipat lebih banyak dari pupuk kandang.
Hasil utama hutan rakyat berupa kayu-kayuan baik kayu pertukangan, kayu industri, kayu serat, maupun kayu energi. Selain hasil utama, juga dikenal hasil sampingan, seperti : getah, nira, bunga, buah. Tanaman campuran/tanaman sela sebagai tumpangsari yang terdiri dari tanaman pertanian semusim (padi dan jagung) dan tanaman obat-obatan disamping sebagai sumber penghasilan musiman limbahnya berupa daun dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan ternak
Pengusahaan hutan rakyat dalam perekonomian pedesaan memegang peranan penting baik bagi petani pemilik lahan hutan rakyat maupun untuk tumbuhnya industri pengolahan kayu rakyat. Bagi petani, hutan rakyat mampu memberikan tambahan pendapatan karena memiliki nilai dan dibutuhkan oleh industri perkayuan. Sedangkan bagi industri perkayuan, hutan rakyat mampu mensuplai kebutuhan bahan baku sehingga kontinuitas produksi industri kayu stabil dan kesejahteraan masyarakat dapat tercapai.
Dalam pengelolaannya, petani hutan rakyat menerapkan sistem yang disebut “daur butuh”, yakni umur pohon yang dipanen ditentukan oleh kebutuhan petani. Jika petani sedang membutuhkan uang maka kayu di hutan rakyat baru di jual.  Di masa mendatang sistem pemanenan seperti ini diharapkan akan berubah menjadi sistem pemanenan yang terencana karena semakin meningkatnya permintaan dari industri-industri pengolahan kayu yang berada dekat di daerah sekitar hutan rakyat, seperti industri penggergajian dan industri meubel
Jika dilihat dari teori Von Thunen, hutan rakyat memproduksi tanaman berkayu dan dapat dikembangkan pada zona III. Hal ini dikarenakan kayu memiliki sifat yang tidak mudah rusak, membutuhkan lahan yang luas dan memiliki bentuk yang besar dan berat. Karakteristik kayu ini sesuai untuk dikembangkan di zona III yang  tidak terlalu jauh dan juga tidak terlalu dekat dengan pasar. Dengan tidak terlalu jauh dengan pasar maka biaya angkutan yang dibutuhkan untk mengangkut kayu yang kondisi fisiknya besar dan berat menjadi tidak terlalu mahal. Selain itu, pada zona ini harga sewa lahan masih cukup murah dibanding zona I dan II sehingga memungkinkan untuk menyewa lahan yang luas untuk mengembangkan tanaman perkayuan.  
Keadaan tersebut menjadi tidak relevan jika dibandingkan dengan kondisi saat ini. Petani sebagai penjual kayu tidak lagi harus memasarkan produknya di pasar melainkan pembelilah yang datang ke petani untuk membeli kayu. Pembeli yang melakukan pemanenan dan pengangkutan dari lahan petani menuju kawasan industri. Hal ini terjadi karena disebabkan beberapa hal, yaitu :
1.      Sistem pemasaran kayu oleh petani masih didasarkan pada sistem butuh. Petani hanya menjual kayu jika dalam keadaan butuh. Hal ini bisa dikatakan bahwa tanaman kayu oleh petani masih dianggap sebagai sampingan dan masih belum menjadi andalan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Jika petani membutuhkan uang maka petani akan menawarkan kayunya kepada pembeli dan kemudian pembeli akan memanen dan mengangkut kayu tersebut. 
2.      Sistem pasar yang terjadi di hutan rakyat adalah sistem monopsoni, yaitu keadaan dimana satu pelaku usaha menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan/atau jasa dalam suatu pasar komoditas. Kondisi Monopsoni sering terjadi didaerah-daerah Perkebunan dan industri hewan potong (ayam), sehingga posisi tawar menawar dalam harga bagi petani adalah tidak ada. Dengan kondisi ini maka penentuan harga sangat tergantung dari pembeli.
3.      Petani memiliki kemampuan terbatas dalam melakukan pemanenan dan pengangkutan. Hal ini disebabkan modal yang dimiliki petani cukup terbatas atau bahkan tidak ada.

Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa sistem pemasaran kayu yang dilakukan oleh petani hutan rakyat sangat jauh berbeda dengan asumsi Von Thunen. Perbedaan ini dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

ASUMSI VON THUNEN
KEADAAN RIIL LAPANGAN
Terdapat suatu daerah terpencil yang terdiri atas daerah perkotaan dengan daerah pedalamannya, yang merupakan satu-satunya daerah pemasok kebutuhan pokok yang merupakan komoditi pertanian (isolated stated)
Daerah pemasok tidak hanya berada di areal yang dekat industri namun juga di daerah yang jauh dari lokasi industri.
Daerah perkotaan tersebut merupakan daerah penjualan kelebihan produksi daerah pedalaman dan tidak menerima penjualan hasil pertanian dari daerah lain (single market)
Lokasi industri (dalam von thunen disebut daerah perkotaan/ pasar) tidak hanya menerima bahan baku kayu dari satu daerah saja namun juga di luar daerah untuk emncukupi kebutuhan bahan bakunya.
Daerah pedalaman tidak menjual kelebihan produksinya ke daerah lain kecuali ke daerah perkotaan (single destination)
Petani kayu sebagai produsen bisa jadi menjual kayunya di lokasi industri luar daerah.
Petani berusaha untuk memperoleh keuntungan maksimum dan mampu untuk menyesuaiakan hasil tanaman dan peternakannya dengan permintaan yang terdapat di daerah perkotaan (maximum oriented)
Petani tidak bisa mendapatkan keuntungan maksimal karena sistem pasarnya adalah monopsoni.
Satu-satunya angkutan yang terdapat pada waktu itu adalah angkutan darat berupa gerobak yang dihela oleh kuda (one mode transportation)
Angkutan yang ada cukup beragam dan didukung dengan accesbilitas yang mudah sehingga mempermudah dalam proses pengangkutan.
Biaya angkutan ditanggung oleh petani dan besarnya sebanding dengan jarak yang ditempuh, di mana petani mengangkut semua hasil dalam bentuk segar (equidistant)
Biaya angkutan ditanggung oleh pembeli.


D.  KESIMPULAN
Dilihat dari uraian di atas,  teori Von Thunen sudah tidak relevan lagi pada masa sekarang, yaitu pada jumlah pasar, yang sekarang sudah banyak tersebar, pada masalah topografis yang tidak selalu sama di tiap daerah, serta hal-hal lain yang membuktikan bahwa teori tersebut sudah tidak relevan lagi. Kemudian banyak terdapat faktor selain biaya transportasi yang juga sangat mempengaruhi kondisi perekonomian dari segi komposisi keruangan. Namun teori ini masih relevan dalam hal kelangkaan, di mana alokasi lahan semakin terbatas dan sangat mempengaruhi harga sewa atau beli lahan. Kemudian bila dipandang dari kondisi pertanian Indonesia, sudah banyak ketidakcocokan, sehingga dapat dikatakan bahwa teori Von Thunen gagal diterapkan di Indonesia.
Ketidaksesuaian Teori Von Thunen dengan masa sekarang dapat dilihat pada pasar hutan rakyat yang ada di Jawa. Kharakteristi yang ada pada pasar hutan rakyat jauh berbeda dengan asumsi yang dikemukakan oleh Von Thunen. Hal ini bisa dilihat dari sistem pasar yang membetuk yaitu monopsoni, karakteristik petani hutan rakyat yang tidak profit oriented, angkutan dan biaya transport yang ditanggung pihak pembeli, pasar yang banyak dan angkutan yang memadai.
DAFTAR PUSTAKA
Fajar, Muhammad Alfian. 2010. Teori Lokasi Von Thunen.
Djojodipuro, Marsudi. 1992. Teori Lokasi. Lembaga Penerbit FE Universitas Indonesia.

Komentar